Wednesday 21 September 2011

Sifat-Sifat Para Sahabat Radhiyallahu Anhu (2)

In the Name of Allah, the Most Beneficent, the Most Merciful. God Almighty says in the Holy Quran: "By Time, Indeed, mankind is in loss, Except for those who have believed and done righteous deeds and advised each other to truth and advised each other to patience." (Demi Masa! Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh, dan mereka pula berpesan-pesan dengan kebenaran serta berpesan-pesan dengan sabar. (Surah Al-Asr ‘103: verse 1-3)



Abu Nu'aim telah mengeluarkan dari Abu Saleh, katanya: Pernah Dhirar bin Dhamrah Al-Kinani datang kepada Mu'awiyah, lalu Mu'awiyah berkata kepadanya: Sifatkanlah kepada aku tentang diri Ali itu? Maka berkata Dhirar:

Apakah engkau akan memaafkanku nanti, hai Amirul Mukminin? Jawab Mu'awiyah: Baiklah, aku tidak marah kepadamu. Berkata Dhirar: Jika sudah semestinya aku sifatkan, maka Ali itu, demi Allah, adalah jauh pandangannya, teguh cita-citanya, kata-katanya pemutus, hukumannya adil, ilmu terpancar dari sekitarannya, dan hikmat terus berbicara dari liku-likunya. Dia sentiasa membelakangi dunia dan kemewahannya, selalu menyambut kedatangan malam dan kegelapannya.

Dia, demi Allah, adalah kaya dalam ibaratnya, jauh pemikirannya, mengangkat kedua tangan seraya berkata-kata kepada dirinya. Pakaian yang kasar itulah yang selalu dipakainya, dan makanan yang rendah itulah yang sentiasa dimakannya. Dia tidak berbeza dengan salah seorang kami.

Dia akan mengajak duduk bersamanya bila kami datang, dan sering menyahut bila kami menadah tangan. Meskipun dia terlalu akrab dengan kami, dan selalu duduk bersama-sama kami, namun tidak pernah berkata-kata dengan kami melainkan dengan penuh kehebatan.

jika dia tersenyum, maka senyumannya umpama mutiara yang berkilau-kilauan. Dia selalu menghormati ahli agama, suka mendampingkan diri kepada orang miskin. Orang yang kuat tidak berharap akan terlepas dari kesalahannya, dan orang yang lemah tidak putus asa dari keadilannya.

Aku bersaksi bahwa aku telah melihatnya dalam keadaan yang sungguh mengharukan yakni ketika malam telah menabiri alam dengan kegelapannya, dan bintang-bintang menyiramkan sekitaran dengan cahayanya padahal dia masih tetap duduk di mihrab tempat sembahyangnya, tangannya terus menggenggam janggutnya, dia kelihatan sangat gelisah seperti gelisahnya orang yang menanggung perkara yang besar, dan dia menangis, seperti tangisannya seorang yang patah hati.

Telingaku masih terngiang-ngiangkan suaranya sekarang yang mengatakan:

Tuhanku! ya Tuhanku! Dia terus bermunajat kepadanya dengan mengadukan hal yang berbagai macam. Setelah itu, dia berkata pula kepada Dunia: Apakah tiada selainku yang engkau hendak perdayakan? Kenapa kepadaku engkau datang? Jauh panggang dari api! Pergilah perdayalah selain aku!

Aku telah menceraikanmu. karena umurmu sangat pendek, kedudukanmu sangat hina, dan bahayamu mudah berlaku. Ah . . . ah! Sangat sedikit bekalan yang di tangan, padahal pelayaran masih amat jauh, dan penuh dengan keharuan dan kedahsyatan!

Mendengar ratapan itu, Mu'awiyah tidak tertahan dirinya, dia terus menangis, dan air matanya menetes jatuh ke atas janggutnya. Dia segera mengelapnya dengan ujung pakaiannya. Orang-orang yang di majelisnya turut terharu sambil menangis. Mu'awiyah lalu berkata:

"Memang benarlah apa yang engkau katakan tentang si bapak Hasan itu, moga-moga Allah merahmatinya. Tetapi, bagaimana engkau dapati dirimu dengan kehilangannya, hai Dhirar?!". Jawab Dhirar:

"Kesedihanku atas kehilangannya umpama kesedihan orang yang dibunuh anaknya di hadapan matanya sendiri, air matanya tidak akan mengering, dan pilu hatinya tidak akan terlenyap". Kemudian Dhirar pun bangun dari majelis itu dan pergi meninggalkan Mu'awiyah dengan kawan-kawannya.

Cerita yang sama dikeluarkan juga oleh Ibnu Abdil Bar dari Al-Hirmazi, seorang lelaki dari suku Hamdan, yang menukil cerita itu dari Dhirar As-Shuda'i sendiri dengan ringkas. (Al-Isti'ab 5:44)

Abu Nu'aim mengeluarkan dari Qatadah, katanya: Pernah Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu ditanya: "Apakah para sahabat Nabi Sallallaahu`Alayhi`waa`Sallam pernah tertawa?". Jawabnya: "lya, akan tetapi iman yang bersarang di dalam hati mereka lebih memuncak dari tingginya gunung!" (Hilyatul-Auliya' 1:311)

Hannad pula telah mengeluarkan dari Said bin Umar Al-Qurasyi, bahwa Umar Radhiyallahu Anhu pernah melihat satu rombongan yang datang dari negeri Yaman, yang tinggal di dalam sebuah kemah yang terbuat dari kulit, lalu dia berkata: Barangsiapa yang mau melihat contoh dari kehidupan para sahabat Rasulullah Sallallaahu`Alayhi`waa`Sallam, maka lihatlah kepada orang-orang ini! (Kanzul Ummal 7:165)

Al-Hakim pula telah mengeluarkan dari Abu Said Al-Maqburi, katanya: Apabila Abu Ubaidah Radhiyallahu Anhu ditikam orang, dia lalu menyuruh Mu'az, katanya: Hai Mu'az! Shalatlah engkau dengan orang ramai!". Mu'az pun mengimami mereka. tidak berapa lama Abu Ubaidah ra. pun meninggal dunia.

Maka Mu'az ra. pun berdiri di hadapan orang ramai berpidato: "Wahai sekalian manusia! Bertaubatlah kepada Allah dari semua dosa-dosa kamu dengan taubat nashuha! karena setiap hamba Allah yang menemui Allah dalam keadaan bertaubat dari dosa-dosanya, melainkan dia akan diampunkan Allah!". Kemudian dia menyambung pidatonya lagi: "Wahai manusia! Sesungguhnya kamu sekalian telah kehilangan seorang tokoh, yang demi Allah, aku belum pernah melihat seorang hamba Allah sepertinya.

Dia meskipun umurnya pendek, namun hatinya suci, tiada suka mengkhianati orang, sangat cinta kepada akhirat, sangat mengambil berat kepada urusan rakyat! Mohonkanlah doa sebanyaknya untuknya, dan keluarlah nanti ke tanah lapang untuk shalat ke atasnya!

Demi Allah, kamu tidak bakal menemui seorang sepertinya lagi buat selama-lamanya! Kemudiab ramai manusia telah berkumpul untuk mengiringi jenazah Abu Ubaidah ra. ke tanah lapang. Mu'az ra. shalat ke atasnya bersama-sama orang ramai, kemudian mengiringi jenazahnya ke kuburan.

Mu'az bin Jabal, Amru bin Al-Ash dan Adh-Dhahhak bin Qais turut menurunkan jenazah itu ke dalam liang lahadnya, kemudian ditimbunkan tanah ke atas kubur itu. Ketika itu Mu'az bin Jabal berseru:

"Hai Abu Ubaidah! Aku tetap akan memuji-mujimu, dan aku tidak berkata yang dusta, karena aku bimbang akan ditimpa kemurkaan Allah, jika aku berdusta. Hai Abu Ubaidah!

Demi Allah, engkau sebenarnya tergolong orang yang banyak berzikir kepada Allah, tergolong orang yang berjalan di atas muka bumi ini dengan merendah diri, yang jika diajak bicara oleh orang-orang yang jahil (bodoh), dia akan mengatakan'selamatlah untukmu!', dan engkau juga termasuk orang yang bila bersedekah, tidak pernah boros atau kikir, bahkan senantiasa sederhana antara kedua segi itu, dan engkau demi Allah, termasuk orang yang selalu beramah-tamah, merendahkan diri, suka membelas-kasihani anak yatim dan orang miskin, dan sangat membenci orang yang berkhianat dan mengangkat diri! (Al-Mustadrak 3:264)

Abdullah bin Abbas Bercerita

Kemuliaan Beberapa Sahabat Nabi Sallallaahu`Alayhi`waa`Sallam

Thabarani telah mengeluarkan dari Rib'i bin Hirasy, Sekali peristiwa telah datang Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) Radhiyallahu Anhu meminta izin menemui Mu'awiyah Radhiyallahu Anhu dan beberapa orang tokoh kaum Quraisy sedang berada di sisi Mu'awiyah, dan Said bin Al-Ash duduk di sebelah kanannya.


Apabila Abdullah bin Abbas masuk ke majlis Mu'awiyah itu, dia berkata kepada Said bin Al-Ash: Hai Said! Demi Allah, aku akan kemukakan beberapa masalah kepada Ibnu Abbas ini yang dapat menjadikannya serba salah untuk menjawabnya. Jawab Said: Orang seperti Ibnu Abbas ini, tidak ada apa pun yang dapat menahannya daripada menjawab pertanyaan-pertanyaanmu itu!

Setelah Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu duduk, Mu'awiyah lalu melontarkan pertanyaannya yang pertama, katanya: "Apa pandanganmu tentang pribadi Abu Bakar?" tanya Mu'awiyah. "Moga-moga Allah merahmati Abu Bakar!" jawab Ibnu Abbas.

"Itu saja?!" tanya Mu'awiyah lagi. "Tidak!" kata Ibnu Abbas, "demi Allah, dia itu sangat suka membaca Al-Quran, sangat membenci kepada kejahatan, tidak pernah membuat kekejian, selalu melarang berbuat kemungkaran, sangat ahli tentang urusan agamanya, kepada Allah amatlah takutnya, senantiasa bangun di waktu malamnya, bila siang berterusan puasanya, senantiasa membelakangi urusan dunianya, kepada rakyat terkenal adilnya, membuat makruf maksud kerjanya, senantiasa bersyukur dalam segala hal-keadaan, pagi dan petang berzikir lidahnya, dan untuk maslahat diri ditinggalkan kesemuanya.

Dia senantiasa melebihi teman-temannya dalam kewara'an, dalam kesederhanaan. dalam kezuhudan, dalam kecukupan, dalam kebajikan, dalam kelengkapan, dalam kethaatan dan dalam menyesuaikan diri pada semua keadaan, maka kerana itu, mudah-mudahan Allah akan menurunkan kutukannya terhadap siapa yang membencinya hinggalah ke hari kiamat!".


"Baiklah", kata Mu'awiyah,"apa pula pendapatmu tentang Umar?". "Moga-moga Allah merahmati Abu Hafs (nama julukan Umar) itu",  jawab Ibnu Abbas. "Bukankah Umar itu pembela Islam, pelindung anak-anak yatim, induknya iman, tempat bergantungnya orang-orang yang lemah dan tempat kembalinya semua orang yang beragama.

Dia adalah benteng bagi sekalian ummat, tempat bermohon bagi semua rakyat. Dia berjuang menegakkan hak Allah dengan penuh tekun dan sabar, sehinggalah Allah, memenangkan agama ini kepada ramai manusia, dan membuka banyak negara yang di bawah taklukan musuhnya.

Kini sebutan nama Allah tersebar pada setiap lembah dan negeri, pada setiap tanah rata dan bukit-bukit, ada setiap kota dan kampung halaman. Pada kata-kata yang keji ia selalu menjauhkan diri, pada keadaan susah dan senang ia tetap mensyukuri, tidak pernah berhenti dari mengingati Allah dan selalu menepati janji.

Kerana itu, mudah-mudahan Allah akan menurunkan kemurkaannya kepada siapa yang membencinya hingga ke hari penyesalan di hari kiamat nanti!"

Mu'awiyah tidak berkata apa-apa, tetapi dia ingin menanyai Ibnu Abbas tentang Usman bin Affan pula yang datang dari sukunya sendiri, yakni Bani Umaiyah, katanya: "Sekarang, cobalah engkau berikan pandanganmu kepada Usman bin Affan pula?" kata Mu'awiyah. Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu langsung menjawabnya, katanya:

"Moga-moga Allah merahmati juga si bapak Amru itu!" kata Ibnu Abbas. "Dia adalah semulia-mulia anak cucu, yang kepada kaum keluarga suka membantu, dan dalam medan perang tidak gentar.

Dia di waktu malam terus dalam keadaan bersujud, bergenang air mata bila mengingati Tuhan, siang dan malam menanggung fikiran, senantiasa bergerak ke arah sifat yang dimuliakan, senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan yang mencelakakan, demi memelihara diri dan mencari keselamatan.

Dia mengeluarkan hartanya untuk membiayai bala tentera, dan membayar harga yang mahal untuk membeli sumber air untuk rakyat jelata, dan dia juga seorang yang menikahi dua puteri Nabi yang mulia. Maka moga-moga Allah menurunkan kemurkaannya ke atas siapa yang mencacinya hingga ke hari kiamat."

"Sekarang, apa pula katamu tentang Ali bin Abu Thalib?" tanya Mu'awiyah pula. "Moga-moga Allah merahmati bapak si Hasan itu", kata Ibnu Abbas. "Dia itu, demi Allah, adalah panji-panji hidayah, sarangnya taqwa, sumbemya segala akal dan kepintaran, pokok dari segala kecantikan dan kesempurnaan.

Dia adalah cahaya yang bersinar di tengah kegelapan malam, selalu mengajak ke jalan yang benar dan mencari ilmu yang mendalam. Dia ahli dalam mengartikan kitab-kitab yang purba, pakar tentang pentakwilan Al-Quran yang mulia, senantiasa berpegang kepada sebab-sebab petunjuk agama, selalu membelakangi sikap yang zalim atau suka menganiaya, selalu menjauhkan diri dari jalan-jalan buruk dan binasa, suka mendampingkan diri kepada orang yang beriman yang taqwanya amat ketara. Dia adalah sebaik-baik orang yang bergamis dan menutup kepala, seutama-utama orang yang berhaji kemudian bersa'i pula.

Banyak toleransinya dalam segala perkara, nampak jelas keadilannya dalam kehakimannya di mana saja, amat bijak dalam pidato dan berbicara, tiada siapa yang dapat mengalahkannya biar datangnya dari segala penjuru alam dan dunia, hanya yang dapat mengatasinya ialah sekalian para Nabi dan Rasul yang mendapat keutamaan Tuhan, khususnya Nabi Muhammad yang terpelihara dan terutama dalam semua waktu dan zaman.

Dia adalah orang yang pernah bersembahyang dengan Nabi sehingga mereka menghadapi ke arah 2 kiblat, apakah ada orang lain yang dapat menandinginya? Dia telah menikahi semulia-mulia kaum perempuan (yakni Siti Fathimah binti Rasulullah), apakah ada orang yang dapat menyamainya?

Kemudian dia juga ayah kepada dua cucunda Rasulullah yang sangat dikasihinya, apakah ada lagi kelebihan yang lebih tinggi daripadanya? Kedua belah biji mataku belum pernah melihat orang sepertinya, dan barangkali tidak akan dapat melihat seumpamanya hingga ke hari kiamat, hari pertemuan dengan Allah, Tuhan semesta alam. Jadi, siapa yang melaknatinya, maka turunlah laknat Allah dan laknat para hambanya ke atas orang itu hinggalah ke hari kiamat."

"Baiklah, apa katamu terhadap Thalhah dan Az-Zubair?" kata Mu'awiyah. "Moga-moga Allah merahmati keduanya", jawab Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu "Mereka keduanya, demi Allah, adalah bersih dari tuduhan, baik dalam amalan, mereka suci dan patut disucikan, syahid dalam matinya, luas pengetahuannya . . . cuma mereka tersilap, dan moga-moga Allah akan mengampuni keduanya dalam kesilapannya itu, berkat pembelaannya yang sudah terkenal dalam agama ini, dan persahabatan yang kekal dengan Nabi yang mulia, dan kerana amalan-amalan mereka yang baik yang sudah tidak perlu diperkenalkan lagi."

"Apa katamu kepada Al-Abbas itu (yakni bapa Ibnu Abbas sendiri)?" tanya Mu'awiyah. "Moga-moga Allah merahmati Abul Fadhl itu,'terang Ibnu Abbas, "dia itu bukan orang lain. Dia adik kepada ayah Rasulullah Sallallaahu`Alayhi`waa`Sallam dan menjadi cahaya mata orang pilihan Allah. Induk sekalian kaumnya, penghulu dari semua paman Nabinya.

Pandangannya amat tajam kepada segala perkara, telaahannya amat tepat pada semua akibat. Namanya akan dikenang orang bila disebut tentang pengetahuannya, tiada siapa yang dapat menandinginya bila disebutkan tentang keutamaannya, dan bila dibicarakan tentang keturunannya, semua orang akan berundur diri kerana tidak sanggup menandingi keturunannya.

Betapa tidak! Kerana dia berada di bawah naungan dan peliharaan orang yang sangat terkenal kemuliaannya pada setiap apa yang berjalan di atas muka bumi, dan beterbangan di udara yang lepas bebas, iaitu Abdul Mutthalib. Dia adalah semulia-mulia orang Quraisy yang berjalan di atas muka bumi, dan seutama-utama orang yang menunggang kenderaan . . ."